Glodok Awalnya Bernama
PT. GEMILANG KELOLA SENTRA BISNIS
Jl. Hayam Wuruk No.127 Jakarta 11180 MKT: 021-6287889 Office : 021-62317000 eMail: [email protected]
Dipercaya pelanggan skala nasional
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMANSARI - Glodok yang dikenal sebagai kawasan Pecinan di Jakarta itu ternyata dulunya bernama Pancoran di masa Hindia Belanda.
Menurut Arkeolog UI, Candrian Attahiyat, asal usul nama Glodok berawal dari sebuah Pancoran atau pancuran air di sekitar wilayah itu.
"Karena dulu di situ ada teknologi baru pendistribusian air dari Kali Ciliwung, kemudian air itu dialirkan ke arah Kota Tua dan sekitarnya. Maka dulu disebut Pancoran," jelasnya pada Jumat (8/7/2022).
Namun, karena pancoran itu kerap berbunyi 'geluduk-geluduk', warga lokal menyebut wilayah itu dengan sebutan Glodok.
Sementara keterangan Candrian serupa dengan buku "Asal Usul Nama Tempat di Jakarta" karya Rachmat Ruchiat yang diterbitkan Masup Jakarta.
Baca juga: Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta, Ikon Baru Ibu Kota Karya Pematung Bali
Dalam keterangan buku itu, penamaan Glodok karena tiruan bunyi pancuran air masuk akal.
Sebab, pada tahun 1670 terdapat semacam waduk penampungan air dari Ciliwung yang dikucurkan dengan pancuran kayu dari ketinggian 10 kaki.
Dari buku yang sama, keterangan lain menyebutkan nama Glodok diambil dari sebuah jembatan di Kali Besar bernama Jembatan Glodok.
Di Jembatan itu terdapat sejumlah anak tangga.
Penduduk sekitar sering menggunakan tangga itu untuk mandi dan mencuci.
Dalam bahasa Sunda, tangga itu disebut dengan Golodok.
Baca juga: Anies Baswedan Bangun Kembali Gapura Chinatown Jakarta di Glodok yang Dirobohkan Kependudukan Jepang
Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta
Gapura Chinatown Jakarta jadi ikon baru di kawasan Pecinan, Glodok Pancoran, Jakarta Barat.
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMANSARI - Glodok yang dikenal sebagai kawasan Pecinan di Jakarta itu ternyata dulunya bernama Pancoran di masa Hindia Belanda.
Menurut Arkeolog UI, Candrian Attahiyat, asal usul nama Glodok berawal dari sebuah Pancoran atau pancuran air di sekitar wilayah itu.
"Karena dulu di situ ada teknologi baru pendistribusian air dari Kali Ciliwung, kemudian air itu dialirkan ke arah Kota Tua dan sekitarnya. Maka dulu disebut Pancoran," jelasnya pada Jumat (8/7/2022).
Namun, karena pancoran itu kerap berbunyi 'geluduk-geluduk', warga lokal menyebut wilayah itu dengan sebutan Glodok.
Sementara keterangan Candrian serupa dengan buku "Asal Usul Nama Tempat di Jakarta" karya Rachmat Ruchiat yang diterbitkan Masup Jakarta.
Baca juga: Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta, Ikon Baru Ibu Kota Karya Pematung Bali
Dalam keterangan buku itu, penamaan Glodok karena tiruan bunyi pancuran air masuk akal.
Sebab, pada tahun 1670 terdapat semacam waduk penampungan air dari Ciliwung yang dikucurkan dengan pancuran kayu dari ketinggian 10 kaki.
Dari buku yang sama, keterangan lain menyebutkan nama Glodok diambil dari sebuah jembatan di Kali Besar bernama Jembatan Glodok.
Di Jembatan itu terdapat sejumlah anak tangga.
Penduduk sekitar sering menggunakan tangga itu untuk mandi dan mencuci.
Dalam bahasa Sunda, tangga itu disebut dengan Golodok.
Baca juga: Anies Baswedan Bangun Kembali Gapura Chinatown Jakarta di Glodok yang Dirobohkan Kependudukan Jepang
Melihat dari Dekat Gapura Chinatown Jakarta
Gapura Chinatown Jakarta jadi ikon baru di kawasan Pecinan, Glodok Pancoran, Jakarta Barat.
Gapura yang tampak cukup megah dan menawan ini ternyata diukir oleh para pematung I Komang Witantra (44), asal Gianyar, Bali.
Pematung dari Tiga Dimensi Sculpture ini mengatakan awalnya kontraktor Pulau Intan melakukan seleksi pembuatan ukiran gapura itu kepada sejumlah studio sculpture di Bali.
"Ada sekitar 3 atau 4 tim yang diseleksi dan kami yang dipilih," ujar Komang kepada TribunJakarta.com di lokasi Gapura, Pancoran, Glodok, Jakarta Barat pada Selasa (5/7/2022) lalu.
Baca juga: Melihat Bangunan GKI Tertua di Kwitang: Awalnya Pendeta Belanda Beli Rumah Berdinding Bambu
Pihak kontraktor memercayai pengukiran gapura itu kepada Studio Tiga Dimensi Sculpture dari Gianyar.
I Komang Witantra kemudian berangkat ke Jakarta untuk melihat desain gapura yang akan dibuat di China Town Glodok.
"Proses pengerjaannya di Bali dulu, kemudian baru dibawa dan dipasang di Glodok," lanjutnya.
Komang dan tim mengerjakan sesuai dengan pesanan dari kontraktor.
Mereka diberi tugas mengukir ornamen sementara konstruksi dan atap gapura dibuat oleh kontraktor.
Para pematung dari Gianyar itu mengukir ornamen khas Tionghoa di empat pilar Gapura Chinatown Jakarta itu seperti ornamen naga, api dan awan.
Seluruh ornamen diukir di dua pilar berukuran sekitar 6 meter dan dua pilar berukuran 9 meter.
Baca juga: Kisah Ragusa, Toko Es Krim Tertua di Jakarta dengan Rasa Melegenda
Pilar-pilar gapura itu dikerjakan oleh 19 seniman ukir.
"Masing-masing pilar ada satu naga," pungkasnya.
Diresmikan Anies Baswedan
Adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang meresmikan Gapura Chinatown Jakarta di pecinan itu pada 30 Juni 2022.
Ia bercerita sebenarnya gapura ini sudah ada sejak abad ke-18. Kemudian pada masa kependudukan Jepang, gapura yang asli dihancurkan.
"Sesudah itu gapuranya tidak pernah dibangun kembali. Tahun 2018 sekitar bulan Februari waktu itu, saya datang kemari.
Pak Bambang Soemarko, Pak Anwar, Pak Yusuf waktu itu kita ngobrol sama-sama menyampaikan aspirasi, 'Pak, boleh tidak pak kalau gapura yang dulu ada di sini dibangun kembali?'.
Waktu itu saya katakan boleh sekali," ucap Anies, Kamis (30/6/2022).
Sayangnya, pembangunan gapura yang direncanakan dari 2018 ini sempat tertunda lantaran pandemi Covid-19 dan baru terealisasi di tahun ini.
Anies berharap agar ikon tersebut dapat menjadi salah satu simbol persatuan dan kesetaraan warga di Jakarta.
Pasalnya, konsep rancangan Gapura Chinatown Jakarta ini dinilai unik dari Gapura Chinatown yang ada di belahan dunia manapun.
Baca juga: Melihat Meriam Si Jagur yang Kerap Diartikan Vulgar, Ada Tulisan Kecil Ungkap Proses Pembuatan
Bangunan ini bertekstur dari unsur batu (berwarna abu-abu), coklat pada bagian genting, serta unsur warna hijau perpaduan budaya Betawi, dengan tulisan berwarna coklat kayu.
"Bisa kita lihat keunikannya, di sini terlihat tidak ada unsur warna merah atau kuning seperti gapura-gapura kawasan Pecinan pada umumnya.
Itulah pembeda utama Gapura Chinatown Jakarta dengan gapura-gapura pada umumnya.
Di sini terlihat ukiran naga dan unsur awan yang dominan pada gapura, melambangkan kemakmuran dan perlindungan dari Sang Maha Pencipta," ungkapnya. (*)
KUNINGAN (MASS)- Kalau tidak ada gangguan, Selasa (31/8/2021) Bendungan Kuningan akan diresmikan oleh Presiden Jokowi. Bendungn ini terletak di Desa Randusari dan Kawungsari Kecamatan Cibeurem.
Kuninganmass.com akan membahas sejarah pendirian Bendungan Kuningan ini.
Luas bendungan adalah 284,45 Ha dan dana yang dihabiskan lebih dari Rp500 miliar.
Tujuan dibangun bendungan adalah untuk irigasi sebanyak 3.000 Ha, masing-masing D.I Cileuweung=1.000 Ha (Kuningan) dan D.I Jangkelok=2.000 Ha (Brebes).
Kemudian, pengendalian banjir dengan reduksi banjir 429,24 m3/s (67,83%), pengairan air baku 300 l/det, PLTA 500 kW.
Sementara lokasinya di Sungai Cikaro Desa Randusari, Kecamatan Cibeureum. Adapun total volume tampungan sekitar 25,955 juta m3.
Pada Senin (2/12/2012) dilaksanakannya Ground Breaking dan penandatangananan prasasti oleh Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementrian PU RI Mohamad Hasan Dipl HE bersama Bupati Kuningan, H Aang Hamid Suganda .
Penandatangan prasasti dilaksanakan di Desa Randusari Kecamatan Cibeureum. Waduk Kuningan yang berada tepat diperbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Hal tersebut diharapkan nantinya bendungan ini akan memenuhi kebutuhan air untuk area pertanian sebagian wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dan juga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Lokasi pembangunan Bendungan Kuningan terletak di Dusun Cileuweung Desa Randusari Kecamatan Cibeureum.
Sebelum terkenal dengan nama Bendungan Kuningan, dulunya dinamakan Waduk Cileuweung.
Sumber mata air adalah yaitu Desa Cikaro, yang merupakan anak sungai Cijangkelok dimana sungai Cisanggarung sebagai sungai utamanya.
Daerah genangan meliputi lima desa di dua Kecamatan yaitu Desa Kawung Sari, Desa Randusari dan Desa Sukarapih berada di Kecamatan Cibeureum. Sedangkan Desa Tanjungkerta dan Desa Simpaijaya berada di Kecamatan Karangkacana.
Kala itu, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung, Ir Tri Sasongko Widianto, Dipl, HE menjelaskan Bendungan Kuningan sudah direncanakan sejak tahun 1984 dan telah melalui berbagai penelitian dan studi kelayakan.
Nantinya bisa mengairi lahan sawah seluas 3 ribu Ha. Selain itu air bisa dimanfaatkan untuk ari minum dan wisata.
Setelah proses pembebasan lahan maka ada 444 KK yang harus dipindahkan ke lokasi baru di Sukarapih.
Jumlah 444 KK terdiri dari Desa Kawungsari sebanyak 361 KK dan masyarakat Desa Randusari sebanyak 83 KK.
Meski terjadi beberap kali demo soal lambatnya ganti rugi. Namun untuk ukuran pembebasan lahan , Bendungan Kuningan terbilang cepat bila dibanding Waduk Jatigede.
Hal ini tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukan oleh Bupati Acep Purnama.
Pada saat proses ganti rugi pada tahun 2021 awal, Kawungsari dan Randusari viral. Pasalnya, warga mendandak kaya.
Uang ganti rugi tersebut ada yang dibelikan kembali ke tanah, tidak sedikit yang membeli kendaraan mewah , bahkan ada yang seharga Rp500 juta.
Dari catatan rata-rata warga mendapatkan ganti ruigi dari yang terkecil Rp200 juta-an hingga yang terbesar Rp1,5 miliar.
Semoga ditempat baru warga memulai kehidupan baru dengan damai. Bendungan pun benar-benar memberikan manfaat bagi warga. (agus)
Administrative village in Jakarta, Indonesia
Glodok (Chinese: 裹踱刻; pinyin: guǒ duó kè) is an urban village of Taman Sari, West Jakarta, Indonesia. The area is also known as Pecinan or Chinatown since the Dutch colonial era, and is considered the biggest in Indonesia. Majority of the traders and residents of Glodok are Chinese descent. The area dates back to colonial times when in November 1740, the Dutch East Indies Company designated Glodok as a residential area for ethnic Chinese. Administratively, the area is a kelurahan under the Taman Sari district, West Jakarta.[1]
Glodok is one of biggest trading centers for electronic goods in Jakarta.
The word Glodok came from the Sundanese word "Golodog" (Sundanese script: ᮌᮧᮜᮧᮓᮧᮌ᮪), meaning entrance to a house, as Sunda Kalapa (Jakarta) is the gateway to the ancient Sundanese Kingdom. It was also thought that the name came from the "grojok grojok" sound that water makes coming out of a waterspout in the yard of the Cityhall (Stadhuis), now the Jakarta Museum. A waterspout was built on this site in 1743 and was used for daily needs such as a watering hole for horses.[2]
In Batavia (now Jakarta), Dutch East India Company created commercial opportunities which attracted immigrants from many areas of what is now Indonesia. This economic activity also lured thousands of Chinese people to Java. Swift immigration challenged the city's limited infrastructure and created burdens on the city. Tensions grew as the colonial government tried to restrict Chinese migration through deportations.
On 9 October 1740, 5,000 Chinese were massacred and the following year, Chinese inhabitants were ghettoized in Glodok outside the city walls.[3] In 1998, Glodok was one of major areas attacked during the May 1998 riots, primarily due to tensions between pribumi and Chinese Indonesians who lived there, who were accused of hoarding the nation's wealth. In 2006, practitioners of Falun Gong were reportedly "assaulted" during a meditation session. A Falun Gong representative suggested that the assailants were sent by the Chinese embassy, though a local news organization noted another possible motivation: that Falun Gong practitioners had been "disrupting business" by distributing pamphlets.[4]
Religion in Glodok, West Jakarta (2020)
As for shopping centre, most of the vendors in Glodok are Chinese Indonesians. Glodok is the biggest Chinatown area in Indonesia, and one of the biggest Chinatowns in the world. The Chinatown covers three main areas, namely Gang Gloria (Gloria alley), Jalan Pancoran and Petak Sembilan. The Chinese came to Jakarta since the 17th century as traders and manual laborers. Most of them came from Fujian and Guangdong provinces in southern China. Centred on Pintu Besar Selatan Road, it has become a commercial hub for the relatively prosperous Chinese community. Assimilation between Chinese and pribumi made a language known as Betawi language.[5] Chinese New Year celebrations and Cap Go Meh celebrations held in the area are major attractions, after president Gus Dur began lifting restrictions in 2000. The area is now a spot to buy Chinese food, traditional Chinese medicine and cheap electronic goods.
Glodok and contiguous of Mangga Dua[6] are one of the biggest shopping centres in Southeast Asia. It stretches from Pancoran street to Gunung Sahari street and has approximately 500,000 m2 of shopping centres. Beside sales of electronic consumer goods, Glodok is also the biggest market for original and bootleg audio and video discs.
Other than shopping, Glodok is a spot to buy Chinese food, traditional Chinese medicine and cheap electronic goods. Gang Gloria is a famous place for a wide array of dishes, including gado-gado (mixed vegetables served with peanut sauce), soto betawi (beef cooked in coconut milk), ketupat sayur (rice cakes served with coconut milk and vegetables), sek ba (pork offal stewed in soy sauce) and more. Established in 1927, the legendary Kopi Es Tak Kie coffee shop specializes in iced coffee. Rujak Shanghai Encim (boiled cuttlefish, radish, cucumber, and water spinach with red sauce and peanut sprinkle) this fresh salad was established around 1950s. This kind of dish is very rare, and only able find it at Glodok.[7]
There are four old temples in the area, namely Dharma Bhakti Temple, Dharma Sakti Temple, Hui Tek Bio temple and Dharma Jaya Toasebio Temple. Kim Tek Ie Temple also known as Dharma Bhakti Temple, which was established in 1650 is the oldest temple in Jakarta.[8] Santa de Fatima Catholic Church, which is built in Chinese architecture located at Jl. Kemurnian III.
In 2016, this subdistrict was inhabited by 8,626 residents consisting of 4,407 men and 4,219 women with a sex ratio of 104.46 and 4,772 heads of families.
Then in terms of religion, the population of this sub-district is also quite diverse. Based on data from the West Jakarta City Central Statistics Agency in 2020, the number of religious adherents in this sub-district was recorded, where Buddhism was 42.8%, then Christianity 37.9% (Protestant 22.1% and Catholic 15.8%), Islam 19, 3%, and a small proportion of Hindus 0.1%.
There are many bus services provided by TransJakarta, PPD, Mayasari Bakti, and city transport. TransJakarta stops at the Glodok bus stop. Jakarta Kota, Kampung Bandan, Mangga Besar and Jayakarta stations of KRL Commuterline are located adjacent to the area.
Media related to Glodok at Wikimedia Commons
6°09′S 106°49′E / 6.150°S 106.817°E / -6.150; 106.817
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.